Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tameng Satria Untuk Bapak

Di bawah naungan pohon yang bergerak ke kanan kiri, sebuah tangan kecil berusaha memetik buah kersen itu. Bajunya yang telah dimakan usang berwarna putih kekuningan telah bercampur dengan bau keringat. Peluh di dahi hingga merosot ke ujung mata tak ia peduli, demi teman-temannya yang sedari tadi meneriaki. 

"Sat, itu sebelah sana! Bukan bukan! Sebelahnya lagi, Sat!"

Anak lelaki tampan dengan tahi lalat kecil di ujung matanya itu menghela napas jengah. "Jangan panggil aku Sat, Ucup! Panggil Satria aja." protesnya tak terima. Ia terus menjatuhkan buah kersen itu, sesekali memasukkannya ke dalam kantong celana merahnya.

"Oke, Satria Aja."

Satria Juangga menggelengkan kepala. Dirasa sudah cukup dengan tiga temannya memungut di bawah, anak itu memutuskan turun dari pohon itu. 

"Eh?" Namun karena tak berhati-hati, baju Satria menjadi robek lantaran terkena ranting hingga menembus kulitnya. 

"Halaah, biasa juga lu dipanggil Sat sama Bapakmu! Sat! Bangs*at!" ketus teman Satria, anak lelaki berkacamata full hitam itu. Pakaian mereka semua sama, masih mengenakan seragam sekolah SD. 

"Jangan gitulah, Tirta. Si Satria itu bisa nangis entar kalau kamu gituin. Kamu mau dipukul sama Bapaknya?" sambung temannya yang lain terkekeh sambil memakan buah kersen milik Kepala Desa di kelurahan mereka. 

"Enggak ih! Takuut ... nanti gue dipukulin kayu bekas malak pasar lagi!" Selanjutnya tawa dari ketiga teman Juang memenuhi pendengaran  anak lelaki itu. Pandangan mengejek diberikan terang-terangan kepadanya. Kedua tangan Satria terkepal menatap keempat temannya tak terima. 


"Bapakku nggak malak di pasar! Jaga mulut kalian!" 


Mulut Tirta mencebik. "Iya, deh, yang nggak malak di pasar." Tirta memasukkan kersen ke dalam mulutnya lalu berujar, "Tapi ... banting stir jadi pemulung! Yhaaa...." goda Tirta lalu menepuk keras bahu Ucup tertawa terbahak-bahak.


"Kasian, Satria Baja Hitam harus ganti nama." 


"Jadi apa tuh, Ta?" goda Rehan.


"Satria Rongsokan Ireng! Hahaha! Mirip kek Bapaknya! Sama-sama Ireng!" Tirta menepuk wajah Satria lalu tertawa, hingga air liurnya muncrat tepat di wajah Satria. Anak itu menoleh ke arah Rehan.


"Han, tau nggak lo perbedaan ireng sama arang?"


Rehan menggeleng sembari terkekeh. "Nggak tau tuch, emang apa bedanya?"


Tirta tersenyum menggoda. "Kalo arang warnanya hitam. Kalo ireng warnanya kayak baju Satria! Kuning kayak tai. Si miskin–"

Bugh!

"Anj*ing!" Tirta terkejut memegangi sudut bibirnya dengan sedikit darah mengucur pelan.


"Enggak lucu, Brengsek! Lu pikir bawa nama Bapak gue bisa bikin derajat lo makin tinggi?!  Hah?!"  Tinjuan keras kembali Satria layangkan pada wajah Tirta. Ia tak terima Ayahnya dijelek-jelekkan. Masih tak puas, Satria berlari melompat dengan satu kaki menapaki batang pohon kersen kemudian melayangkan tendangannya telak pada wajah Tirta. 


Alhasil Tirta terjungkal ke belakang. Seragamnya kotor. Wajah dan lututnya terluka bergesekan dengan pasir.


Tirta menggeram marah tak terima, ia menoleh kepada dua temannya. "Tunggu apa lo pada, hah?! Hajar si Bangs*at itu!" perintahnya dengan suara keras. 


Keduanya mengangguk, Rehan berjongkok memberi Tirta dan Ucup balok milik Pak RT. 

Satria berdecih, menampakkan senyum mengejek terang-terangan pada ketiganya. "Pengecut," ketusnya. 


Satria memasang kuda-kudanya, matanya menatap tajam dengan Ucup dan Tirta di depan, dengan Rehan di belakangnya. 


Hingga tas selempang hitam milik Satria tiba-tiba ditarik oleh Rehan dengan badannya terhuyung ke samping. Merasa mendapat kesempatan dengan semangat Tirta melayangkan balok panjang tepat mengenai di kepala Satria. "Rasain, lo!"


Pandangan Satria mengkabut. Kepalanya sakit dan berdenyut-denyut. Satria tiba-tiba terhuyung ke depan dan terduduk. Dari belakang Rehan menendang punggung Satria. Sementara Ucup terdiam di tempat, melihat darah keluar dari pelipis Satria. 


"Woi, udah woi!" peringat Ucup. Keduanya terus menghajar dan menendang Satria. Satria memegangi kepalanya tanpa melakukan perlawanan. 


"Kalo lo takut mending lo pulang aja sana!" usir Rehan, yang belum merasa puas membalaskan perbuatan Satria terhadap sepupunya. 


Hingga langkah anak kecil yang tak jauh dari sana berhenti. Anak perempuan lucu berambut kepang dua berusia 6 tahun berseragam TK itu menoleh ke atas kepada orang di sampingnya. "Paman, itu kok mereka jahat pukulin temannya ya,?" 


"Hm?" Novan menoleh lalu mengikuti pandangan keponakannya. 


"Ayo tolongin, Paman! Kasiaan! Kalo nggak Ria bakal lapor ke Ummi! Cepetaan!" titahnya  setengah merengek yang diakhiri dengan cubitan di paha Pamannya.


Novan mengaduh mengusap kepala keponakannya. "Iya-iya iya. Paman tolongin, yah." Ria mengangguk mengusap air di sudut matanya.


Novan berjalan mendekat. Ia menggeleng kepala, tak habis pikir dengan tingkah anak jaman sekarang. "Heh, bocah, berhenti!" 


"Siapa lo?" beo Rehan yang langsung melayangkan tinjunya ke arah Satria. 


Novan melotot tak terima. Kurang ajar nih bocah, batin Novan.


"Mau gue telfonin polisi lu bertiga?! Masih kecil udah kehilangan moral. Gue lapor lu pada! Rasain masuk penjara!" ancam Novan merogoh kantongnya berpura-pura menelfon seseorang di Handphone-nya.


Ketiga yang menjadi tersangka saling memandang. Lalu dengan tergesa-gesa Ucup dan Tirta lari terbirit-birit diikuti dengan Rehan di belakang menenteng sepatunya.


"Kamu nggak papa, Dek?" tanya Novan membantu Satria yang ingin berdiri.


"Iya nggak papa, Kak. Makasih udah nolongin saya." Satria tersenyum simpul. Ia meringis, sudut bibirnya terasa perih.


Ria kemudian menyodorkan sebuah tisu dan plester motif matahari yang tadi ia ambil di dalam tasnya. 


"Ya?" Satria menoleh kebingungan menatap mata bulat itu. "Eh, maksudnya nggak usah. Ini juga udah mau sembuh, kok." Satria merasa tak enak hati. Pria yang masih tergolong muda dan anak perempuan di depannya ini baik sekali, Satria bahkan tak mengenali mereka.


Ria maju selangkah, anak itu berjinjit meminta Satria menundukkan badannya. Satria menurut saja. 


"Ria cuma punya ini, Kak. Kata Ummi, kalo luka harus diobati. Biar nggak tambah fatal lagi. Ngerti?" ucapnya memberi arahan diakhiri senyum ala iklan pepsodent. Kini luka di pelipis Satria ditutupi oleh plester anak itu setelah dibersihkanya menggunakan tisu.


Seulas senyuman grogi terbit di bibir Satria, ia mengangguk pelan, sebelum akhirnya senyum itu pudar begitu ia menoleh pada Novan yang menatapnya sarat akan makna.


"Rumahmu di mana? Biar saya anter." tanya Novan mengeluarkan kunci mobilnya. Acara membeli es krim untuk keponakannya biarlah nanti saja.


Satria membersihkan debu yang menempel di pakaiannya. "Enggak usah, Kak. Rumah saya nggak jauh kok dari sini. Makasih udah nolongin saya." Lagi-lagi ia tersenyum tipis. 


Novan mengangguk. "Sama-sama. Ohiya nama kamu siapa?" 


"Nama saya Satria Juangga."


Mendengar itu Novan tersenyum. Ia menepuk bahu Satria. "Nama yang bagus. Kamu pasti akan jadi orang sukses, insyaa Allah. Semangat yah, Juang!" Ria menoleh pada Novan yang tak seperti biasanya. 


"Aamiin. Makasih, Kak." Satria mengangguk seraya tersenyum.


"Kalo gitu saya permisi, Kak." Dengan tertatih Satria melangkah. Di ujung belokan gang tak jauh dari rumah Pak RT ia melihat Ayahnya yang menatapnya balik di samping gerobak mereka.


"Semangat Kak Juang!" teriak Ria seraya tertawa melambaikan tangannya.  


Satria menoleh, ia ikut tertawa. "Iya, Ompong." Selanjutnya Satria kembali melangkah. Pandangannya menengadah menatap atap bumi tanpa penyangga itu. Harapan kembali ia lambungkan, semoga di masa depan ia bisa menjadi sukses dan menjadi orang yang bermanfaat. 


"Bapak," kata Satria pelan. Ia menunduk, merasa malu menampakkan wajahnya yang babak belur di hadapan Ayahnya. 

"Udah, nggak papa. Anak laki harus kuat! Nggak boleh cengeng," petuah Dani—Ayah Satria yang berusia 45 tahun. Ia mengusap bahu Satria.

Satria mengangguk pelan. Tangan yang telah berkeriput dimakan usia itu diciumnya penuh harap. Benar, hanya Ayahnya lah yang harus dia bahagiakan di dunia ini. 

Ditambah lagi ialah anak satu-satunya yang telah lama dinantikan oleh kedua orang tuanya. Ditinggalkan oleh sosok Ibu sejak ia dilahirkan pasti cukup memberatkan Ayahnya untuk membagi peran. 

Satria pun ikut mendorong gerobak yang telah mengantongi banyak botol-botol dan rongsokan lainnya bersama sang Ayah. 

"Bapak mau kersen?" Keduanya mendorong gerobak itu tak terlalu cepat. Cukup untuk mensyukuri matahari yang menampakkan semburat jingga di langit dengan burung saling berkicauan.

"Enggak Nak, mulai hari ini kamu nggak boleh makan makanan yang bukan hak kamu." Pandangan Dani beralih ke samping, menatap Burung dan anaknya yang bertengger di pohon. "Maaf, Bapak jarang perhatiin kamu."

Hati anak itu mencelos. Satria menunduk tersebab pandangannya kini berkaca-kaca. Kedua tangannya terkepal. Tidak akan ia biarkan seseorang merendahkan dan menyakiti Bapaknya. "Enggak, Pak," lirihnya.

"Nanti kita minta keridhoan Pak Yusuf untuk kersennya, yah."

"Iya, Pak." Senyum tulus kemudian terbit dari bibir sepasang anak dan Bapak itu.

24 komentar untuk "Tameng Satria Untuk Bapak"

  1. Nama:A.ITA PURNAMA SARI
    Kelas:X.6

    Menurut saya,makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan/menilai orang lain hanya dengan dari penampilannya saja dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita serta tetaplah tersenyum apa pun masalah yang datang menghampiri.

    BalasHapus
  2. Nama: Nurul hudaya
    Kelas:X.6

    Menurut saya,makna dari cerita"tameng satria untuk bapak"kita tidak boleh menilai seseorang dari luar atau penampilannya saja,Dan kita tidak boleh merendahkan orang lain hanya karna dia dri keluarga Yang kurang mampu.

    BalasHapus
  3. Nama sri mauliani
    Kelas X.6

    Makna dari cerita diatas yaitu,janganlah memandang orang dengan rendah Karna kita semua sama di mata tuhan.

    BalasHapus
  4. Nama:Dini Aminarsyah
    Kelas:X7
    Menurut sya makna dari cerita di atas,
    Kita tidak boleh menilain seseorang dengan penampilanya dan tidak boleh merendahkanya walaupun dia dari keluarga yang tidak punya

    BalasHapus
  5. Nama:mutmainna ismar
    Kelas:X7

    Menurut saya,makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan/menilai orang lain hanya dengan dari penampilannya saja dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita serta tetaplah tersenyum apa pun masalah yang datang menghampiri

    BalasHapus
  6. Nama : Armila regina putri
    Kelas : X.7

    Menurut saya ,makna dari cerita dari cerita di atas kita tidak boleh merendahkan orang lain hanya dengan penampilannya saja dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita

    BalasHapus
  7. Nama:firnia
    Kelas:x.7
    Menurut saya,makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan/menilai orang lain hanya dengan dari penampilannya saja dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita serta tetaplah tersenyum apa pun masalah yang datang menghampiri.

    BalasHapus
  8. Nama : Yastri
    Kelas : X.7

    Menurut saya,makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan seseorang hanya dengan dari penampilannya saja dan kita tidak boleh mengambil hak yang bukan milik kita

    BalasHapus
  9. Nama: Afriza Adelia Nadiva
    Kelas: X.7

    Menurut saya makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan dan menilai orang hanya dari penampilan saja dan kita juga tidak boleh mengambil hak yang bukan milik kita

    BalasHapus
  10. Nama:NURHASANA
    Kelas:X.7

    Menurut saya,makna dari cerita"tameng satria untuk bapak"kita tidak boleh menilai seseorang dari luar atau penampilannya saja,Dan kita tidak boleh merendahkan orang lain hanya karna dia dri keluarga Yang kurang mampu.

    BalasHapus
  11. Menurut saya,makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan/menilai orang lain hanya dengan dari penampilannya saja dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita serta tetaplah tersenyum apa pun masalah yang datang menghampiri.

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  13. Nama:A.Raodatul jannah
    Kelas:X.7
    Menurut saya,makna dari cerita"tameng satria untuk bapak"kita tidak boleh menilai seseorang dari luar atau penampilannya saja,Dan kita tidak boleh merendahkan orang lain hanya karna dia dri keluarga Yang kurang mampu.

    BalasHapus
  14. Nama:Rafika
    Kelas:X7

    Menurut saya,Makna cerita diatas adalah jangan merendahkan seseorang hanya dengan dari penampilan dan mengambil sesuatu yang bukan milik atau hak kita.

    BalasHapus
  15. Nama:m.yusril
    Kls :X. 7

    Menurut saya,Makna cerita diatas adalah jangan merendahkan seseorang hanya dengan dari penampilan dan mengambil sesuatu yang bukan milik atau hak kita.

    BalasHapus
  16. Nama:Nabila
    Kelas:X.7

    Menurut sya makna dari cerita diatas yaitu kita tidak boleh merendahkan seseorang hanya dengan dari penampilan dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak milik kita

    BalasHapus
  17. Nama : Hardiansyah
    Kelas : X.7

    Menurut saya makna cerita diatas adalah bahwa apapun pekerjaan seseorang, bagaimanapun latar belakang seseorang kita tidak berhak merendahkannya. Karna Kita semua sama Dimata Allah..kita tidak boleh membeda bedakan orang lain.

    BalasHapus
  18. Nama:Yulindia cahya tamsir
    Kelas:X.7
    Menurut saya,makna cerita diatas jangan merendahkan seseorang hanya dengan dari penampilannya,dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita

    BalasHapus
  19. Nama:nur asyila Febriana
    Kelas:X.7
    Menurut saya,makna dari cerita"tameng satria untuk bapak"kita tidak boleh menilai seseorang dari luar atau penampilannya saja,Dan kita tidak boleh merendahkan orang lain hanya karna dia dri keluarga Yang kurang mampu.

    BalasHapus
  20. Nama: Silfika
    Kelas :X7

    Menurut saya,makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan/menilai orang lain hanya dengan dari penampilannya saja dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita serta tetaplah tersenyum apa pun masalah yang datang menghampiri.

    BalasHapus
  21. Makna dari cerita di atas adalah jangan menghina dan jangan memandang orang dengan sebelah mata walaupun dia dari keluarga yang kurang mampu kita harus menghhargainya ,dan tidak boleh mengambil hak orang

    BalasHapus
  22. Nama : Mughny Al jenar
    Kelas : X.6

    Menurut saya,makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan/menilai orang lain hanya dengan dari penampilannya saja dan kita juga tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak atau milik kita serta tetaplah tersenyum apa pun masalah yang datang menghampiri.

    BalasHapus
  23. Nama:Zalsa Annisa
    Kelas:X.6

    Menurut saya,makna dari cerita"tameng satria untuk bapak"kita tidak boleh menilai seseorang dari luar atau penampilannya saja,Dan kita tidak boleh merendahkan orang lain hanya karna dia dri keluarga Yang kurang mampu,kita juga tidak boleh merendahkan orng karena ekonominya.

    BalasHapus
  24. Nama:Arifa ulfiah
    Kelas:X.6

    Menurut saya, makna dari cerita tersebut adalah kita tidak boleh merendahkan/menilai seseorang hanya dari penampilan saja dan kita tidak boleh merendahkan orang lain walaupun dia dari keluarga yang tidak punya

    BalasHapus