Cerpen : Mas Dalang
Abimanyu. Dia adalah seorang dalang muda dengan perawakan tinggi dan sedikit kurus, meskipun begitu dia tetap terlihat keren dengan tubuhnya yang demikian. Wajah dengan senyum menawan pun tak mampu membuat para gadis mengalihkan pandangan.
Dog ... dog ... dog ...dog ....
Abimanyu mulai ndhodhog kendhaga yang ada di sebelah kirinya, sedangkan tangan kanannya mulai memainkan wayang Janaka dan berhadapan dengan Sembadra. Sementara gamelan ditabuh, Abimanyu melantunkan sebuah suluk katresnan.
sanajan kling-lingan gunung
wong tresno mesti ngulati
nyebrango segoro wedang
lebur luluh sun lakoni
umpomo ora kelakon
ngupoyo suko mati
Saat sedang melantunkan suluk, ternyata ada sepasang mata yang memandang ke arah Abimanyu dengan begitu dalam dari sudut pakeliran.
"Mas Abi ...," gumamnya.
Seorang wanita paruh baya datang dan menepuk pundak anaknya yang sedang terpaku sambil tersenyum memandangi sang dalang.
"Nduk, kok malah ngelamun toh? Cepetan kasih minumannya ke Mas Abimanyu. Pasti dia haus," celetuknya.
"Eh, nggih, Bu."
Gegas, gadis itu berjalan mendekati Abimanyu, dalang muda yang dia kagumi sejak lama. Tanpa berkata, dia meletakkan nampan berisi teh, kopi, dan banyak camilan sambil tersenyum. Namun, pria di hadapannya sama sekali tidak sadar kehadiran seseorang di sampingnya, apalagi menoleh karena sibuk melakonkan wayang.
Merasa diabaikan, gadis berambut panjang itu berbalik dan menjauh. Dia melewati tukang kendang dan beberapa sinden sambil menoleh. Mata gadis itu bertatap dengan pandangan sinis salah satu dari ketiga sinden itu. Mereka terlihat seperti musuh bebuyutan.
"Ish, ngopo toh anak pembantu saja sok senyum sama Mas Abi. Bikin kesel aja. Awas kamu, Ndari!" Sinden itu bicara sambil melirik tajam ke arah gadis tadi.
Sementara itu gadis yang dipanggil Ndari sengaja duduk di sudut pakeliran agar bisa melihat pujaan hatinya dengan seksama. Binar cinta terlihat jelas dalam sorot matanya. Namun, selama ini dia hanya mampu memandangi Abimanyu dari jauh saat sedang latihan mendalang.
Di sekitar pakeliran, banyak sekali orang yang menyaksikan pagelaran wayang purwa yang dibawakan oleh Dalang Abimanyu, bahkan saat malam sudah sangat larut. Para orang tua fokus pada alur cerita yang dibawakan sang dalang, sedangkan para pemuda fokus memperhatikan para sinden.
Namun, satu sinden masih sangat memendam amarah pada gadis yang tadi dipanggil Ndari, sampai-sampai salah mengucapkan lirik lagu yang sedang ia lantunkan. Seketika dia berhenti bernyanyi dan menutup mulut rapat-rapat dengan tangan kanannya. Hal itu membuat Ndari terkikik menertawakan.
Ayam berkokok saat fajar menyingsing, saat itu juga gending penutup ditabuh, lagu akhir pun dinyanyikan. Satu per satu para penonton meninggalkan pergelaran wayang kulit purwa yang dilakonkan oleh Abimanyu.
Dia juga mulai menata wayang-wayang yang telah digunakan di dalam kendhaga. Lantas dia berdiri dengan gagah sambil merapikan beskap yang dipakai. Langkahnya mantap meninggalkan pakeliran. Di sudut sana, Ndari sudah berdiri menanti sambil membawakan secangkir teh melati kesukaan Mas Dalang kesayangannya.
"Monggo ... Mas Abi, ngeteh rumiyin supados Mas Abi rileks," kata Ndari sambil menyerahkan cangkir teh. Namun, pandangannya menatap ke bawah. Dia merasa sungkan menatap lelaki yang dia kagumi itu.
"Terima kasih." Lelaki yang memakai beskap hitam itu menerima teh yang diberikan Ndari lalu menyeruputnya beberapa teguk.
"Injih, Mas. Sak wangsulipun." Ndari masih menunduk, lalu ia mundur dan hendak meninggalkan Raden Abimanyu.
"Ndari ...," panggil Abimanyu.
Dengan ragu Ndari mendongak dan memandang ke lelaki di hadapannya. "Dalem, Mas."
"Bawa ini sekalian."
"Injih, Mas." Ndari bergegas mendekat dan menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. Demi menetralkan grogi, Ndari memilih pamit pergi ke bagian dapur balai desa.
Gadis berusia 17 tahun itu memilih duduk di kursi sambil memegang cangkir bekas minum Abimanyu.
"Mas Abi, minum dari gelasmu adalah berkah untukku."
"Ekhem!"
Dehaman bernada sinis seketika mengalihkan perhatian Ndari dan membuatnya terbatuk.
"Uhuk! Ngopo toh, ngagetin ajah," gumamnya.
"Anak Pembantu! Berani ya kamu deket-deket Mas Abiku?!"
"Mas Abimu? Apa aku ndak salah dengar?"
"Berani yah?!" Sekarang rahang Ndari berada dalam cengkeraman sinden sinis tadi.
"Hey!" Ndari mengempaskan tangan sinden itu. "Kenapa aku takut sama kamu, Setyowati? Aku itu jadi pembantumu iku kalau di rumah. Sekarang aku lagi kerja sama Mas Abi, ndak ada urusan sama kamu."
"Eh, meski bukan pembantu, tapi haruse kamu sadar. Siapa Abimanyu?"
"Mas Abimanyu? Iku pasti suami Siti Sundari. Ndak perlu diragukan!"
"Kurang ajar!" pekik Setyawati bersamaan dengan melayangnya tamparan ke pipi kiri Ndari.
Ndari pun mengelus pipinya yang memerah sambil berkata, "Aku bener toh? Di pewayangan Raden Abimanyu itu suamine Siti Sundari. Pastinya di dunia nyata juga begitu. Mas Dalang Abimanyu bakal jadi suami Siti Sundari. Bakal jadi suamiku! Paham?"
"Ndak bisa! Kita harus bersaing untuk mendapatkan Mas Abi." Setyowati terlihat sangat kesal. Dia melirik tajam sambil bersedekap.
"Nye-nye-nye! Wle!" Sundari berlari menjauh dari rival sekaligus majikannya, Setyowati.
"Sundari!" teriak Setyowati sambil mengentakan kakinya, jengkel.
*
Raden Abimanyu berjalan perlahan mengelilingi pendopo balai desa sambil sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari sesuatu. Dia berhenti.
"Kamar mandinya di mana sih?" gumamnya.
Lelaki berhidung mancung itu kembali berjalan, kini menuju arah belakang balai desa. Ada sebuah cahaya di sudutnya, dia mendekat. Samar-samar terlihat siluet seorang perempuan seperti sedang menimba air.
"Ah, mungkin kamar mandi ada di sana." Abimanyu melangkah ke arah siluet itu.
"Boleh saya menumpang wudhu?" tanya Abimanyu setelah berada di dekat sumur itu.
Orang itu menoleh, ternyata Sundari yang juga hendak berwudu. Mata keduanya bertemu. Saat melihat senyum Abimanyu, Sundari tak mampu berpaling juga menjawab.
"Sundari ... halooo?" Abimanyu mengulang ucapannya.
"Nggih, Mas. Ada apa?" Sundari terkejut lalu tersadar.
"Bolehkah saya numpang berwudhu?" tanya Abimanyu lagi.
"Wudhu?" Bukannya menjawab, Sundari malah kebingungan sambil menatap Abimanyu.
Abimanyu mengangguk.
"Boleh, Mas. Tapi krane ndak keluar air, Mas. Gimana?"
"Ndak apa-apa, Ndari mau bantu Mas kan?"
"Bantu Mas Abi?"
"Iya, mau kan? Tolong pegang timba begini." Abimanyu menata timba agar bisa mengalirkan air untuknya berwudu.
"Ndari juga mau wudu, Mas. Nanti gantian, nggih?"
"Iya."
Sundari pun menuruti Abimanyu sambil terus memandang wajah tampan lelaki itu. Baru beberapa gerakan, seseorang datang dan berteriak.
"Ndariiii!"
"Ada apa, Mbak Wati. Mau wudhu juga?" tanya Sundari santai.
Ternyata orang itu adalah Setyowati, dia mendekati Abimanyu dan Sundari. Awalnya ingin memaki Sundari, tapi karena ada Abimanyu dia langsung mengurungkan niat dan berkata, "Iya aku mau wudhu dan sholat Subuh sekalian."
Kebetulan Abimanyu telah selesai berwudu lalu menyisir rambutnya dengan jemari. Saat itu, kedua gadis yang ada di sana langsung terpesona.
"Ya sudah. Kalian wudhu dulu, saya tunggu di pendopo untuk sholat Subuh berjamaah," kata Abimanyu yang kemudian melangkah pergi.
Kedua gadis itu wajahnya berbinar karena akan diimami oleh lelaki yang mereka sukai. Dua orang gadis cantik itu menyukai lelaki yang sama dan sudah tidak heran lagi jika keduanya saling mendahului, tetapi tidak kali ini mereka saling membantu untuk berwudu.
*
Fajar telah menyingsing, seluruh kru dari Abimanyu belum juga selesai membereskan semua peralatan. Maklum saja karena peralatan yang sangat banyak dan berat.
Kedua gadis yang menjadi rival itu berjalan dari arah yang berbeda dan masing-masing membawa plastik yang berisi makanan.
Sementara Abimanyu sedang duduk di pendopo sambil memainkan ponselnya. Beberapa saat kemudian, ada seorang perempuan cantik berhijab datang dan menghampiri Abimanyu. Perempuan itu juga membawa makanan dan langsung memakannya bersama Abimanyu.
Setyowati dan Sundari pun keheranan dan langsung mendekati kedua manusia yang sedang duduk berdampingan itu.
"Eh, ada Setyowati sama Sundari. Duduk sini makan bareng. Itu makanan kan?" tanya Abimanyu ramah.
Tanpa menjawab keduanya pun duduk.
"Oh iya, kenalin. Ini calon istriku, namanya Khumaira, kami akan menikah bulan depan."
Perempuan cantik tadi mengulurkan tangan dan mengajak keduanya berkenalan. Sementara kedua rival itu hanya terpaku dan cengo karena sama-sama tidak bisa mendapatkan pujaannya, Abimanyu.
*
Catatan kaki:
Kendhaga: kotak tempat menyimpan wayang
Ndhodhog kendhaga: mengetuk kotak tempat penyimpanan wayang untuk menandai peralihan adegan, atau meminta gending
Gending: iringan gamelan
Suluk: lagu vokal yang dilantunkan oleh dalang untuk memberikan suasana tertetu dalam adegan-adegan pertunjukan wayang.
Arti dari suluk di atas: intinya jika cinta pasti berjuang, meski harus menyeberangi lautan. Jika tidak tercapai akan dibawa sampai mati.
Sak wangsulipun: kembali kasih
Posting Komentar untuk " Cerpen : Mas Dalang"